Perkembangan Anak
Menjadi dewasa adalah proses yang cukup panjang. Kita bisa bayangkan
begitu banyaknya perubahan yang terjadi dalam diri seseorang, dari saat baru
lahir dengan berat sekitar 2- 3 kg saja sampai ia tumbuh dewasa dengan berat
bisa sampai 50-60 kg. Proses pertumbuhan dan perkembangan ini berjalan dengan
banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor genetik dari kedua orang tuanya
sudah jelas akan memberi kontribusi yang besar dalam hal ini. Selain
itu ada pula faktor riwayat kesehatan ataupun trauma yang pernah dialami oleh
anak. Demikian pula faktor lain yang sifatnya tidak langsung, misalnya status
ekonomi orang tua, yang berpengaruh pada kecukupan gizi dan kesejahteraan anak.
Bahkan pada masyarakat yang masih memiliki akar budaya yang kuat,
perkembangan karakter anak juga akan terpengaruh oleh norma-norma budaya
tersebut.
Secara fisik,
anak mengalami pertumbuhan di mana ukuran tubuh menjadi lebih besar. Dalam hal
perkembangan fisik, anak menjadi terampil dalam menggunakan tangan dan
jari-jarinya, kakinya, dapat berdiri, berlari, dapat makan sendiri, dapat
menelan dengan baik, dan berbagai kemampuan lain yang sifatnya berupa
keterampilan.
Bayi baru lahir sangat tergantung dengan lingkungannya. Untuk memenuhi
keperluannya ia masih harus dibantu oleh orang lain. Sedangkan orang dewasa,
sudah dapat mempengaruhi lingkungannya dalam pemenuhan kebutuhannya. Kemampuan
untuk berinteraksi dan mempengaruhi lingkungan sekitarnya ini diperoleh dari
suatu proses perkembangan sejak bayi hingga dewasa. Proses
perkembangan dan perubahan pada bayi yang baru lahir hingga bisa berdiri
sendiri saat dewasa ini, terjadi dalam beberapa tahap :
1. Bayi
usia 0 – 1 tahun (bayi yang masih menyusui)
Di usia ini bayi belum dapat membedakan dirinya dengan lingkungan luarnya. Ia
masih dalam taraf mulai belajar untuk membedakan antara dirinya dan
dunia luarnya. Pada usia ini kebutuhan bayi memang masih sedikit,
tetapi harus terpenuhi dengan baik. Dunia luarnya akan dimulai dari ibu atau
orang yang memenuhi kebutuhannya dan merawatnya sehari-hari. Anak pun akan jauh
lebih menyukai bila mendengar suara ibunya, yang dikenalnya sejak ia lahir.
Pada usia 2 - 6 minggu, ia mulai kenal dan akrab dengan anggota
keluarga yang ada di sekitarnya. Ia sudah
merasa nyaman dan senang terhadap lingkungannya dan juga
atas perhatian yang diberikan akan kehadirannya. Perasaan senangnya
ini akan tercermin dari kontak sosialnya yang pertama, berupa ekspresi
senyuman, yang disebutsocial smile.
Di usia 4 bulan, anak akan semakin dapat menikmati kontak sosial. Ia sudah
dapat memberi ekspresi tertawa pada orang yang melihatnya. Ia pun sudah mulai
dapat membedakan ekspresi muka orang yang ada dihadapannya, walau kadang belum
mengerti benar. Seiring dengan kontak-kontak sosial yang ia buat, ia pun
mengembangkan ikatan emosionalnya. Di usia sekitar 6 bulan, bahkan
ia sudah dapat memilih untuk melakukan kontak sosial dengan seseorang yang
lebih disenanginya. Karena berkembangnya ikatan emosional dalam kontak
sosialnya inilah, maka anak di usia 6 sampai 8 bulan kadang mengalami separation
anxiety. Anak cemas, bila orang yang secara emosional dekat
dengannya tidak ada di dekatnya lagi. Untuk melatih anak
agar mampu mengatasi keterpisahannya dengan orang tua ini, sering kali anak
diajak bermain “cilukba” . Secara tak langsung anak dilatih untuk bisa
mengatasi keadaan walau ia tak melihat ada orang tua di sekitarnya.
Dengan perkembangan kemampuan melihat ekspresi wajah orang yang ada
di hadapannya, bayi yang berusia 7 bulan mulai mengerti ekspresi
wajah, terutama orang yang sudah lama ia kenal. Perilaku yang ia lakukan hingga
sekitar usia 12 bulan, masih berupa imitatif dari apa yang ia lihat. Ia
melakukan apa yang ia lihat orang lain lakukan, walau ia sendiri belum mengerti
maksud tingkah laku itu.
Jadi perlu diingat bahwa hubungan baik dan rasa percaya pada dunia luar ini
selain dipengaruhi oleh bakat anak itu sendiri, juga dipengaruhi oleh sikap
orang disekitarnya, terutama dalam tahun pertamanya.
2. Umur
1 – 4 tahun
Pada usia ini tingkat ketergantungan mulai berubah. Aktivitas yang semula serba
dependen perlahan beralih menjadi independen. Seiring dengan kemajuan dalam
kemampuan bahasa, gerak, dan kemampuan komunikasi dengan dunia
luarnya, ia akan lebih mudah mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya.
Perbendaharaan kata yang dimiliki semakin banyak, dan anak mulai pandai
menirukan kata yang didengarnya. Orang tua yang mengasuhnya pun lebih
mudah mengerti apa yang dikehendaki si anak, karena anak sudah dapat
berkomunikasi dengan lebih baik. Dengan kemampuannya itu, ditambah dengan
keterampilan motoriknya yang mulai dapat memegang, memeriksa , dan mencoba
sesuatu, ia akan semakin banyak melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya. Ia
akan senang untuk membongkar-bongkar dan mengobrak-abrik semua tempat.
Semakin ia besar dan mengerti perbedaan dirinya dengan dunia luar, disini akan
timbul pertentangan. Pertentangan terjadi karena si anak belum mengenal
kepentingan lain selain kepentingan dirinya sendiri, sehingga kerapkali akan
terjadi pertentangan dengan kepentingan orang tuanya.
Dalam usia 2-3 tahun anak memasuki fase gemar memprotes segala hal.
Setiap ajakan akan ditolak dan diprotesnya. Masa ini disebut masa kopigheid’s
periode (masa keras kepala), atau ada pula yang menyebutnya sebagai
masa negativistik. Anak seperti berusaha berpegang pada suatu
pendirian, walau setelah itu ia juga akan menentang ajakan sebaliknya.
Dalam usia 4 tahun, anak senang bermain-main dengan anak lain. Keingintahuannya
meluas dan ia sudah dapat berfantasi akan kesenangannya. Pola
interaksi dengan orang tua juga mulai agak berubah. Orang tua sudah
melihatnya sebagai anak yang agak besar, bukan anak bayi lagi, yang
tidak lagi harus ditunggui setiap saat oleh ibunya. Di sinilah anak
kadang kembali mengalami separation anxiety, karena ia tak
lagi selalu di dekat ibunya. Hal ini juga sering terjadi bila ibu
melahirkan adiknya, di mana perhatian seluruh keluarga lebih banyak
tercurah bagi si adik bayi yang baru lahir.
Aktifitas juga akan meningkat. Anak seperti tidak bisa diam, maunya naik turun
tempat tidurnya, mencoba jalan-jalan, dan lain sebagainya. Pada masa ini
orang tua sering terlalu khawatir dan akhirnya semakin keras dan
melarang anaknya untuk banyak bermain. Sebenarnya hal ini dapat memberi
pengaruh kurang baik, sebab anak yang semula aktif dan bersemangat menjelajahi
dunianya, menjadi berkurang minatnya karena takut dimarahi kalau-kalau ia
melakukan sesuatu yang ternyata dilarang orang tuanya. Akhirnya anak
yang semula aktif menjadi anak yang pasif, dan akhirnya perkembangannya
melambat.
Faktor lain yang berpengaruh adalah perubahan sikap dari orang tuanya, di saat
si anak memiliki adik. Si sulung dituntut untuk jadi panutan bagi
sang adik. Terhadap sang adik yang baru lahir, biasanya sikap orang tuanya
tidak sama seperti waktu si sulung masih sendiri. Kekuatiran orang tua sudah
berkurang, dan sang adik memperoleh lebih banyak kebebasan.
Selain dari orang tua, kakak dari seorang anak juga turut mempengaruhi
perkembangan anak. Dengan adanya seorang kakak, bagi sang adik bisa menjadi
pemacu untuk berkompetisi dan berusaha untuk menyainginya. Namun sebaliknya,
bisa juga si adik bisa menjadi manja, sebab selalu terlindungi oleh kakaknya.
Seorang adik bungsu yang bedanya jauh dengan kakaknya, kadangkala akan
dibiarkan memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap kakak-kakaknya, atau
terhadap orang tuanya.
3. Umur
5 – 7 tahun
Usia ini adalah usia sekolah awal. Anak mulai masuk Taman Kanak-kanak. Ia
memulai untuk berusaha berdiri sendiri di dunia luarnya. Ia tidak lagi berada di
sisi ibunya terus-menerus. Di TK ia akan mulai berlatih berbagai keterampilan.
Kemampuan melihat, menerima pengertian, berpikir, berbahasa, yang masih
sederhana akan dikembangkan dengan berhadapan langsung dengan dunia luar. Hal-hal
yang dialaminya secara langsung akan semakin banyak dan semakin bervariasi.
Aktifitasnya akan meningkat, dan porsi waktu yang semula ia habiskan dalam
rumah saja bergeser menjadi banyak di luar rumah. Dan ia juga akan melihat
dunia yang melibatkan lebih banyak orang, dengan berbagai perilakunya. Di
sinilah orang tua sering menjadi cemas, sebab khawatir perilaku
orang lain akan memberi pengaruh yang tidak baik bagi anak.
Dalam proses mengasah ketrampilan ini, setiap anak memiliki kecepatan yang
berbeda-beda, walaupun anak itu sebenarnya normal. Di sinilah peran ibu / orang
tua cukup besar. Kadang kala ibu merasa cemas dan “senewen” melihat anaknya
kurang cepat dibanding anak lain, dan akhirnya menyuruh anak untuk lebih cepat.
Ini kadang malah berakibat anak menjadi semakin tegang dan
bertentangan dengan ibunya.
Hal lain yang sering dilakukan ibu adalah mengambil alih tugas
mengerjakan pekerjaan rumah atau prakarya yang diberikan gurunya.
Pengambilalihan ini bisa juga berupa menyuruh kakaknya yang lebih besar untuk mengerjakannya.
Memang akhirnya si anak akan mengumpulkan hasil karya yang baik, mungkin malah
paling baik di kelasnya, dan memperoleh nilai yang tinggi, akan tetapi hal ini
sebenarnya malah berakibat tidak baik bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi
tidak bertambah terampil (malah ibu atau kakaknya yang tambah terampil), dan
secara tidak sadar akan menanamkan pada anak bahwa ia tidak perlu
repot-repot karena akan selalu dibantu ibunya. Fungsi sekolah yang
bertujuan untuk membentuk tanggung jawab,kewajiban, dan keterampilan pun
tidak tercapai sebagaimana direncanakan. Hal yang mungkin terjadi juga, si anak
dapat menjadi terbiasa menyalahgunakan kasih ibunya itu dengan berlambat-lambat
dalam melakukan suatu tugas, dengan harapan akan diambil alih oleh ibunya.
Pertentangan lain yang sering terjadi juga di usia ini adalah pertentangan
antara pengaruh ayah dan pengaruh ibu. Pada usia ini, di mana dunia si anak
sudah mulai meluas dan ia mulai bisa membedakan banyak orang, ia akan dapat
melihat ayah dan ibunya sebagai orang yang berbeda. Jika ia melihat bahwa
ayahnya mengharapkan lain dengan apa yang ibunya harapkan, ia akan
mengalami pertentangan, sebab tidak mungkin baginya memenuhi harapan keduanya
sekaligus. Hal ini dapat memberikan pengaruh buruk pada usahanya
untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan berdiri sendiri.
4. Umur
7 – 11 tahun
Keseimbangan antara ketergantungan dan mampu berdiri sendiri mulai tampak. Anak
(terutama anak laki-laki) akan semakin senang bermain sendiri / bersama
temannya di luar rumah. Pada saat anak ini bermain, ia secara tak sadar
sebenarnya sedang berusaha melepaskan ketergantungannya dengan ibunya di rumah,
dan berdiri sendiri bersama teman-temannya di sekitar rumah. Seorang anak
laki-laki di usia ini, jika masih memperlihatkan ketergantungan secara
terang-terangan terhadap ibunya, malah merupakan hal yang tidak normal dan
harus diwaspadai.
Di saat seorang anak masuk Sekolah Dasar, ia mengalami peralihan antara bermain
dengan “bekerja”. Perkembangan yang terjadi selain berusaha berdiri sendiri,
juga sudah mulai rasa tanggung jawab dan memiliki kewajiban terhadap tugas
belajarnya di sekolah. Di sini peranan sekolah selain mengajarkan ilmu
pengetahuan ,adalah memberi tugas-tugas yang merangsang perkembangan tanggung
jawab dan rasa punya kewajiban . Tugas dari sekolah diarahkan untuk merangsang
inisiatif dan kemampuan berusaha mengatasi masalah yang dihadapi. Kadangkala
orang tua ingin memberikan anak suatu masa kanak-kanak yang menyenangkan,
sehingga akibatnya mereka malah terlalu melonggarkan anak dari kewajiban dan
tugas yang diberikan dari sekolah. Orang tua kadangkala malah mengajak anak
bermain-main dan tidak mengharuskan si anak mengerjakan tugas
sekolah. Ini malah berakibat anak tidak dapat belajar disiplin dalam
mengerjakan sesuatu. Sering terjadi juga orang tua mengerjakan tugas sekolah si
anak, dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan agar si anak tidak terlalu
repot, atau agar si anak punya nilai yang bagus, dan lain sebagainya. Hal
ini tidaklah baik, sebab malah akan mengakibatkan si anak terhambat
perkembangannya.
Selain itu, anak juga akan mulai banyak bergaul dengan teman sebayanya. Mulanya
ia akan tetap berbaur dengan laki-laki dan perempuan, tapi lama-kelamaan mereka
akan berkelompok sejenis. Anak laki-laki akan banyak melakukan aktifitas yang
dilarang, misalnya bermain di tempat yang dilarang. Hal ini mereka lakukan
karena mau menunjukkan sikap jantannya. Hal ini tidak perlu menjadi kekuatiran
yang berlebihan selama kenakalan mereka tidak keterlaluan dan tidak
membahayakan. Akan tetapi tentunya juga tidak berarti orang tua bisa melepas
begitu saja.
5. Usia
11 – 19 tahun
Perkembangan psikologi yang normal selama masa remaja,
meliputi 4 aspek . Pertama adalah kemampuan emosional untuk
terlepas dari keluarga dan mampu menerima tanggung jawab. Kedua, perkembangan
seksual dan nilai moralitas. Di sini selain pematangan fungsi seksual dari
organ tubuh, juga pematangan akan nilai-nilai seksualitas. Ketiga, menemukan
keinginan dan minat yang ada dalam dirinya dan usaha pencapaiannya.
Dan yang keempat, adalah menemukan jati diri (ego) yang sebenarnya.
Pada tahap ini terjadilah proses pematangan seksual. Selain secara fisik, juga
secara mental. Perilakunya akan semakin menunjukkan ciri-ciri kelakuan anak
laki atau perempuan dalam pergaulannya, terutama dalam pergaulan dengan lawan
jenis.
Pada masa awal remaja, anak sering membandingkan diri dengan
teman-teman sebayanya. Tingkah laku dari orang yang
mereka jadikan model atau idola, akan mereka tiru dan ikuti. Rasa ingin tahu
tentang hal seksual akan meningkat, dan biasanya mereka mencari segala
sumber untuk mengetahuinya. Peran orang tua dan sekolah dalam
hal ini adalah untuk memberikan sex education yang
benar, sehingga anak mendapat informasi yang benar tentang seksualitas. Dari
segi hubungan sosial dengan dunia sekitarnya, anak akan mulai menyadari
kedudukan dan status orang tua dalam masyarakat. Dengan berinteraksi dengan
masyarakat, anak melihat bagaimana orang lain memandang dirinya dan
keluarganya. Dari sini ia akan belajar untuk membentuk dan memahami identitas
sosialnya.
Pada saat ini orang tua sebaiknya memperhatikan apakah anaknya memiliki
perilaku yang sesuai dengan kelaminnya. Pada saat ini diperlukan petunjuk dan
bimbingan dari orang tuanya tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Norma –norma ini tidak hanya untuk masalah seksual saja, tetapi juga untuk
sopan santun dan norma-norma dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam masa pertengahan remaja (15-16 tahun) anak mulai memperhatikan
penampilan dirinya. Ia mulai merisaukan tentang body image-nya. Anak
ingin lebih bebas dalam memilih aktifitasnya, dan menerima tanggung jawab yang
lebih besar. Minat akan aktifitas tertentu akan lebih menonjol, dan anak
mulai menemukan kegemaran-kegemarannya. Rasa ingin tahu, khususnya tentang
seksualitas semakin besar, dan mereka saling berbagi informasi
tentang hal ini, entah benar atau salah. Dalam hubungan sosial,
anak lebih berani untuk interaksi dengan lingkungannya, dan
mengatasi isolasi emosional. Ia akan berusaha mengatasi
ketakutan terhadap penolakan oleh lingkungan dan menjadi akrab
dengan teman yang paling dipercayanya. Dalam masa ini, pengaruh teman dan
kelompoknya jauh lebih besar dari pada pengaruh orang tua. Anak akan jauh merasa
lebih nyaman untuk berada dalam lingkungan teman-teman
sebayanya, ketimbang berada dekat dengan orang tuanya. Kematangan emosional
juga mulai berkembang, misalnya dengan mampu berbagi perasaan dengan teman –
teman akrabnya.
Orang tua memberi peranan penting dengan mulai memberikan persamaan hak pada
anak. Ini sangat penting bagi proses akhir keseimbangan antara ketergantungan
dan kemampuan berdiri sendiri. Dengan perlahan menghapus kedudukan
anak yang lebih rendah, anak akan semakin berkembang karena ia juga akan
memperoleh ruang yang lebih luas untuk berkembang dan berdiri sendiri, menerima
tanggung jawab dan kewajiban. Seorang remaja ingin mencoba segala sesuatu,
mencoba membuat keputusan sendiri, dan mereka perlu diberi kesempatan membuat
kesalahan. Di sini masa kecilnya banyak memberi pengaruh. Jika pada usia kecilnya
ia banyak mengalami kegembiraan, persahabatan, dan kesuksesan, ia akan
menjalani masa remaja dan dewasa dengan penuh percaya diri. Sebaliknya bila
masa kecilnya ia tidak pernah menerima penghargaan atas usahanya, ia bisa
menjadi rendah diri dan kurang percaya diri.
Pubertas berasal dari kata pubercere yang artinya menjadi
matang. Sedangkan adolesen berasal dari kata adolescere yang
berarti menjadi dewasa. Proses ini sudah pasti akan menimbulkan konflik. Orang
tua sebaiknya tidak usah takut akan konflik ini, selama konflik tak hebat dan
tidak mengarah pada perpecahan anggota keluarga. Yang perlu diingat
adalah konflik hanyalah aspek yang diperlukan dalam perkembangan
anak yang sehat. Malahan, jika sama sekali tidak dijumpai adanya konflik, orang
tua harus curiga jangan-jangan si anak hanya pura-pura mampu berdiri sendiri.
Anak juga akan lebih terikat dengan teman sebayanya, dalam kelompok tertentu.
Mereka merasa lebih aman dan memperoleh kepastian akan eksistensi dirinya.
Sebenarnya dalam tahap inipun mereka bukannya tidak tergantung sama sekali
dengan orang lain, mereka masih tergantung dengan orang tua dan teman-temannya
dalam kadar tertentu. Perkembangan akan kemampuan diri sendiri di sini meliputi
berbagai aspek, termasuk ilmu pengetahuan, moral, emosional, dan berbagai macam
lainnya.
Akhir masa remaja, keinginan untuk keluar dari lingkungan rumah menjadi semakin
besar lagi. Mereka semakin terdorong dengan keinginan untuk melanjutkan sekolah
yang lebih tinggi di tempat lain, atau bekerja di tempat yang baru. Dalam
bersosialisasi mereka umumnya sudah cukup nyaman dengan kemampuan
dirinya dan sudah mulai menemukan identitas dirinya. Dalam
berinteraksi dengan orang lain bahkan mereka sudah berani untuk
lebih serius, misalnya dengan menjalin hubungan dengan lawan jenisnya dalam
bentuk berpacaran.
(http://leman.or.id/anakku/daribayi.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar